728x90 AdSpace

  • LATEST NEWS

    Sabtu, 18 Oktober 2014

    Liat Dan Laut Pun Merajut

    Bahagia adalah rasa yang pernah dirasakan Laut dan Darat. Untuk waktu sungguh lama dari awal tercipta, mereka berdua hanya dipisahkan selapis kulit. Bersanding menjadi satu tanpa pernah terpikir untuk berpisah. Bersatu tubuh dengan nama Bumi. Laut dan Darat saling membumi.

    Laut di atas. Darat di bawah. Laut menyelimuti Darat seutuhnya. Melindungi dari hawa yang tak terbiasa Darat hela.

    Hingga hari yang tak pernah mereka duga, datang. Hari yang mengejutkan mereka, tapi yang ada hanya diam karena Laut tak bisa melawannya. Hari yang selama ini diam-diam diinginkan Darat. Hari yang membuat Laut kehilangan sebagian Darat.

    Gejolak itu masih bergetar dari bawah. Semakin lama semakin kuat, hebat, melepas tambat Laut kepada Darat. Laut tak pernah tahu asal datangnya gejolak itu. Tapi, Darat tahu. Datang dari rasa bosan Darat yang selama ini selalu ada di bawah. Ingin berontak untuk tahu apa yang ada di atas.

    Laut bisa merasa alasan Darat yang ingin berontak. Berkali-kali coba menjelaskan, hawa di atas sana hanya akan membuat Darat lumpuh. Tak akan lebih baik dengan di bawah lingkupan Laut. Tapi, yang terjadi semakin lama, Darat dikuasai kama. Yang ingin dipenuhi adalah kuasa duniawinya. Darat ingin ada di atas. Laut ada di bawah.

    Apa daya. Laut lebih lunak dari Darat. Laut hanyalah cair, sedangkan Darat lebih kokoh berwujud padat. Tangan hampa Laut tak kuasa menahan tubuh Darat yang terus mencoba untuk mencuat ke atas.

    Tak mudah bagi Darat untuk lepas dari dekapan Laut. Tapi, bukan berarti tak bisa. Perlahan sebagian tubuhnya mulai meyembul sedikit di batas ambang Laut. Hanya setebal rambut. Rasa sesak tiba-tiba menguasai dada Darat. Sejenak getaran berhenti untuk Darat mengatur napas yang mulai terengah-engah. Laut kira Darat sudah tak kuasa lagi. Tapi, Laut salah. Sudah terbiasakan diri, Darat melanjutkan getarannya kembali.

    Rasanya ada yang salah. Tiba-tiba saja Darat merasa lelah. Gejolak yang tadinya membuncah lama-lama menjadi lemah.

    Darat berhenti. Setidaknya, sepertiga tubuhnya sudah berhasil lepas dari dekapan Laut mengubah posisi berada di atas.

    Laut berdiam. Setidaknya, sepertiga tubuhnya kehilangan rasa mendekap sepertiga tubuh Darat yang sudah berada di atas.

    Laut salah. Hawa di atas ini sungguh bersahabat dengan Darat. Rasanya lebih bebas dan merdeka, begitulah yang Darat rasakan. Tak seperti di bawah sana.

    Laut hanya bisa memandangi Darat dari bawah. Tapi, yang kemarin tak pernah sama dengan sekarang. Laut kehilangan cara hanya untuk sekadar berbicara kepada Darat di atas sana. Darat pun benar-benar merasakan kebahagiannya dengan penghuni-penghuni barunya. Rasanya tak perlu bagi Laut mengusik kebahagiaan Darat. Hanya rasa rindu saja yang semakin lama menumpuk hingga melapuk di hamparan Laut.

    Dan Darat selalu tak ditemani rasa sepi. Ditemani penghuni-penghuninya yang menjejak di atas Darat. Ke sana-sini beranjak dalam langkah. Tapi, lama-lama mereka melunjak. Darat merasa seolah diinjak. Mengenjak-enjak tanpa perasaan.

    Rasa amarah memuncak. Darat mulai bergejolak. Mata mereka membelalak. Mendengar suara Darat dari bawah menggertak. Air laut beriak-riak.

    Laut yang sudah melapuk bersama rasa rindu seketika terbangun setelah menerima getaran dari Darat. Seperti memberi harapan, Darat ingin berjumpa dengan Laut. Sudah lama diam, air bergejolak menghantam karam. Melingkup Darat kembali, meski untuk sebentar. Memberi pertanda kepada Darat. Laut masih ada untuknya.

    Cara itu tak bisa berkali-kali terjadi. Daya Darat tak sekuat yang dikira. Tak mungkin setiap saat bagi Darat untuk bergejolak. Laut ingin sesering mungkin kembali mendekap Darat, meski tak seutuh dulu.

    Dari Matahari yang bergantung di pusat sana, Laut mengubah sedikit bentuknya menjadi barisan kata yang menguap ke atas. Membentuk gerombolan warna kelabu. Bila pekat sudah kata-kata yang terucap, tinggal menunggu waktu untuk berada di atas Darat dan mulai merintikkan isinya.

    Waktu itu tiba. Satu demi satu kata-kata Laut merintik ke Darat. Tumpah melingkupi Darat kembali, meski hanya untuk sebentar. Tersampaikan sudah rasa rindu milik Laut untuk Darat. Dan kata-kata Laut itu kembali lagi membentuk rasa rindu yang baru.

    Laut senang dengan cara ini. Cara untuk menyampaikan rasa rindunya kepada Darat. Tak hanya sekali, tapi bisa sesering mungkin. Cara ini bernama hujan.

    Seperti nafsu Darat yang ingin berada di atas, Laut ingin kembali mendekap Darat seutuhnya. Apa daya, Laut tak begitu kuat mengubah bentuk diri sepenuhnya menjadi barisan kata yang menguap ke atas. Gerombolan itu tak mampu bergantung lama-lama di atas. Seperti bulatan air di ujung daun, ada kekuatan Darat yang cepat-cepat menarik isi gerombolan. Laut hanya bisa menerima dirinya berubah bentuk seadanya.

    Pernah Laut mencoba untuk mendekap Darat seutuhnya. Begitu besar kekuatan yang Laut keluarkan untuk menyelimuti seluruh sepertiga tubuh Darat yang mencuat itu. Menenggelamkan seluruh penghuninya yang sudah tak karuan perilakunya. Terhadap Darat. Terhadap Tuhan. Namun, hanya ada satu manusia yang dititahkan membuat bahtera agar selamat dari keinginan Laut ini. Manusia itu bernama Nuh, yang pada akhirnya dianggap nabi. Itu terjadi di waktu yang sudah lama sekali berlalu. Dan sekian lama pula tak terjadi lagi.

    Namun, hari ini hingga hari esok, sudah terlalu besar rasa rindu yang dipendam Laut. Terlalu pekat kata-kata menguap yang diucapkan Laut. Terlalu banyak gerombolan warna kelabu terhembus ke atas Darat. Lalu siap mengguyur dengan rintik kata dari Laut ke Darat. Untuk rentang waktu yang begitu panjang.

    Selagi barisan kata-kata Laut masih mengguyur, Darat berucap dari atas kepada Laut. Cukup sudah Darat tahu rasa rindu yang dipendam Laut. Cukup sudah bagi Darat terus diguyur rasa rindu yang dipendam Laut. Berhenti sudah agar penghuni yang berpijak di atas Darat tetap hidup selamat. Meski, Darat tahu betapa seringnya mereka tak sadar sifat kemaruk dalam dirinya yang mengeruk Darat hingga ke ceruk.

    Kini, semua kata yang menguap milik Laut sudah tumpah ke tubuh Darat. Tinggal menggenang sekaligus mengenang. Bahwa dulu sempat Laut dan Darat seperti ini.

    Tapi, ke mana akan perginya kata-kata milik Laut ini? Darat tahu, apa yang pergi akan kembali lagi. Apa yang kembali akan pula pergi.
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Posting Komentar

    Item Reviewed: Liat Dan Laut Pun Merajut Rating: 5 Reviewed By: Unknown
    Scroll to Top