Bahagia adalah rasa yang pernah dirasakan Laut dan Darat. Untuk waktu
sungguh lama dari awal tercipta, mereka berdua hanya dipisahkan selapis
kulit. Bersanding menjadi satu tanpa pernah terpikir untuk berpisah.
Bersatu tubuh dengan nama Bumi. Laut dan Darat saling membumi.
Laut di atas. Darat di bawah. Laut menyelimuti Darat seutuhnya. Melindungi dari hawa yang tak terbiasa Darat hela.
Hingga
hari yang tak pernah mereka duga, datang. Hari yang mengejutkan mereka,
tapi yang ada hanya diam karena Laut tak bisa melawannya. Hari yang
selama ini diam-diam diinginkan Darat. Hari yang membuat Laut kehilangan
sebagian Darat.
Gejolak itu masih bergetar dari bawah.
Semakin lama semakin kuat, hebat, melepas tambat Laut kepada Darat. Laut
tak pernah tahu asal datangnya gejolak itu. Tapi, Darat tahu. Datang
dari rasa bosan Darat yang selama ini selalu ada di bawah. Ingin
berontak untuk tahu apa yang ada di atas.
Laut bisa merasa
alasan Darat yang ingin berontak. Berkali-kali coba menjelaskan, hawa
di atas sana hanya akan membuat Darat lumpuh. Tak akan lebih baik dengan
di bawah lingkupan Laut. Tapi, yang terjadi semakin lama, Darat
dikuasai kama. Yang ingin dipenuhi adalah kuasa duniawinya. Darat ingin
ada di atas. Laut ada di bawah.
Apa daya. Laut lebih lunak
dari Darat. Laut hanyalah cair, sedangkan Darat lebih kokoh berwujud
padat. Tangan hampa Laut tak kuasa menahan tubuh Darat yang terus
mencoba untuk mencuat ke atas.
Tak mudah bagi Darat untuk
lepas dari dekapan Laut. Tapi, bukan berarti tak bisa. Perlahan sebagian
tubuhnya mulai meyembul sedikit di batas ambang Laut. Hanya setebal
rambut. Rasa sesak tiba-tiba menguasai dada Darat. Sejenak getaran
berhenti untuk Darat mengatur napas yang mulai terengah-engah. Laut kira
Darat sudah tak kuasa lagi. Tapi, Laut salah. Sudah terbiasakan diri,
Darat melanjutkan getarannya kembali.
Rasanya ada yang salah. Tiba-tiba saja Darat merasa lelah. Gejolak yang tadinya membuncah lama-lama menjadi lemah.
Darat berhenti. Setidaknya, sepertiga tubuhnya sudah berhasil lepas dari dekapan Laut mengubah posisi berada di atas.
Laut berdiam. Setidaknya, sepertiga tubuhnya kehilangan rasa mendekap sepertiga tubuh Darat yang sudah berada di atas.
Laut
salah. Hawa di atas ini sungguh bersahabat dengan Darat. Rasanya lebih
bebas dan merdeka, begitulah yang Darat rasakan. Tak seperti di bawah
sana.
Laut hanya bisa memandangi Darat dari bawah. Tapi,
yang kemarin tak pernah sama dengan sekarang. Laut kehilangan cara hanya
untuk sekadar berbicara kepada Darat di atas sana. Darat pun
benar-benar merasakan kebahagiannya dengan penghuni-penghuni barunya.
Rasanya tak perlu bagi Laut mengusik kebahagiaan Darat. Hanya rasa rindu
saja yang semakin lama menumpuk hingga melapuk di hamparan Laut.
Dan
Darat selalu tak ditemani rasa sepi. Ditemani penghuni-penghuninya yang
menjejak di atas Darat. Ke sana-sini beranjak dalam langkah. Tapi,
lama-lama mereka melunjak. Darat merasa seolah diinjak. Mengenjak-enjak
tanpa perasaan.
Rasa amarah memuncak. Darat mulai
bergejolak. Mata mereka membelalak. Mendengar suara Darat dari bawah
menggertak. Air laut beriak-riak.
Laut yang sudah melapuk
bersama rasa rindu seketika terbangun setelah menerima getaran dari
Darat. Seperti memberi harapan, Darat ingin berjumpa dengan Laut. Sudah
lama diam, air bergejolak menghantam karam. Melingkup Darat kembali,
meski untuk sebentar. Memberi pertanda kepada Darat. Laut masih ada
untuknya.
Cara itu tak bisa berkali-kali terjadi. Daya
Darat tak sekuat yang dikira. Tak mungkin setiap saat bagi Darat untuk
bergejolak. Laut ingin sesering mungkin kembali mendekap Darat, meski
tak seutuh dulu.
Dari Matahari yang bergantung di pusat
sana, Laut mengubah sedikit bentuknya menjadi barisan kata yang menguap
ke atas. Membentuk gerombolan warna kelabu. Bila pekat sudah kata-kata
yang terucap, tinggal menunggu waktu untuk berada di atas Darat dan
mulai merintikkan isinya.
Waktu itu tiba. Satu demi satu
kata-kata Laut merintik ke Darat. Tumpah melingkupi Darat kembali, meski
hanya untuk sebentar. Tersampaikan sudah rasa rindu milik Laut untuk
Darat. Dan kata-kata Laut itu kembali lagi membentuk rasa rindu yang
baru.
Laut senang dengan cara ini. Cara untuk menyampaikan
rasa rindunya kepada Darat. Tak hanya sekali, tapi bisa sesering
mungkin. Cara ini bernama hujan.
Seperti nafsu Darat yang
ingin berada di atas, Laut ingin kembali mendekap Darat seutuhnya. Apa
daya, Laut tak begitu kuat mengubah bentuk diri sepenuhnya menjadi
barisan kata yang menguap ke atas. Gerombolan itu tak mampu bergantung
lama-lama di atas. Seperti bulatan air di ujung daun, ada kekuatan Darat
yang cepat-cepat menarik isi gerombolan. Laut hanya bisa menerima
dirinya berubah bentuk seadanya.
Pernah Laut mencoba untuk
mendekap Darat seutuhnya. Begitu besar kekuatan yang Laut keluarkan
untuk menyelimuti seluruh sepertiga tubuh Darat yang mencuat itu.
Menenggelamkan seluruh penghuninya yang sudah tak karuan perilakunya.
Terhadap Darat. Terhadap Tuhan. Namun, hanya ada satu manusia yang
dititahkan membuat bahtera agar selamat dari keinginan Laut ini. Manusia
itu bernama Nuh, yang pada akhirnya dianggap nabi. Itu terjadi di waktu
yang sudah lama sekali berlalu. Dan sekian lama pula tak terjadi lagi.
Namun,
hari ini hingga hari esok, sudah terlalu besar rasa rindu yang dipendam
Laut. Terlalu pekat kata-kata menguap yang diucapkan Laut. Terlalu
banyak gerombolan warna kelabu terhembus ke atas Darat. Lalu siap
mengguyur dengan rintik kata dari Laut ke Darat. Untuk rentang waktu
yang begitu panjang.
Selagi barisan kata-kata Laut masih
mengguyur, Darat berucap dari atas kepada Laut. Cukup sudah Darat tahu
rasa rindu yang dipendam Laut. Cukup sudah bagi Darat terus diguyur rasa
rindu yang dipendam Laut. Berhenti sudah agar penghuni yang berpijak di
atas Darat tetap hidup selamat. Meski, Darat tahu betapa seringnya
mereka tak sadar sifat kemaruk dalam dirinya yang mengeruk Darat hingga
ke ceruk.
Kini, semua kata yang menguap milik Laut sudah
tumpah ke tubuh Darat. Tinggal menggenang sekaligus mengenang. Bahwa
dulu sempat Laut dan Darat seperti ini.
Tapi, ke mana akan
perginya kata-kata milik Laut ini? Darat tahu, apa yang pergi akan
kembali lagi. Apa yang kembali akan pula pergi.
0 komentar:
Posting Komentar