Perahu negeriku, perahu bangsaku menyusuri gelombang
semangat rakyatku, kibar benderaku menyeruak lautan.
Menyeruak
tiada henti satu persatu rakyat bangsa ini menyemangati dirinya sendiri
sekedar untuk mendapatkan ruang bernegosiasi dengan nafas yang
terpenggal-penggal menahan keelokan penguasa yang dengan arif
memproklamirkan diri sebagai seorang wali negeri.. ih kok ngeri ..
Perahu
Negeriku, perahu bangsaku dari franky candu penggal sekedar untuk lebih
memahami bahwa tanah yang berjejer dengan kepulauan ini bukanlah
hamparan yang tergelar rapi oleh dasi-dasi pribadi, bukanlah hijau
lautan yang terserak dengan hiasan ombang ambing sampah keserakahan
menjadi saksi atas dulang punggawa negeri, bukan pula pinus yang
berjejer rapi sekilas membentuk sebuah angan bahwa negeri ini indah,
bahwa bangsa ini cuilan dari nikmat syurga yang menjadi anugrah.
Negeri
yang tercipta bersama keelokan alam, hamparan tanah yang menjulang
tinggi menguatkan pondasi keseimbangan, lautan hijau kebiru-biruan yang
memancarkan pantulan sebuah kehidupan, sekarang berganti lembar buram
yang terserak memenuhi ketidakdayaan rakyat pinggiran.
Sejenak candu pun membayangkan untaian sajak rendra tentang cerita sebuah negeri yang di bentangkan,
Menghisap sebatang lisong, melihat Indonesia Raya, Mendengar 130 juta rakyat dan di langit
dua
tiga cukong mengangkang berak di atas kepala mereka, matahari terbit,
fajar tiba dan aku melihat delapan juta kanak – kanak tanpa pendidikan.
Aku
bertanya, tetapi pertanyaan – pertanyaanku membentur meja kekuasaan
yang macet dan papan tulis – papan tulis para pendidik yang terlepas
dari persoalan kehidupan.
Delapan juta kanak – kanak,
menghadapi satu jalan panjang, tanpa pilihan, tanpa pepohonan, tanpa
dangau persinggahan, tanpa ada bayangan, ujungnya menghisap udara yang
disemprot deodorant.
Aku melihat sarjana – sarjana menganggur berpeluh di jalan raya, aku melihat wanita bunting antri uang pensiunan.
Dan
di langit para teknokrat berkata : Bahwa bangsa kita adalah bangsa yang
malas, bahwa bangsa mesti dibangun, mesti di up-grade, disesuaikan
dengan teknologi yang diimpor dari kahyangan. Dengan gunung – gunung
menjulang, langit pesta warna di dalam senjakala
Dan aku melihat protes – protes yang terpendam terhimpit di bawah tilam.
Aku
bertanya tetapi pertanyaanku membentur jidat penyair – penyair salon
yang bersajak tentang anggur dan rembulan sementara ketidak adilan
terjadi disampingnya dan delapan juta kanak – kanak tanpa pendidikan
termangu – mangu di kaki dewi kesenian, bunga – bunga bangsa tahun depan
berkunang – kunang pandang matanya di bawah iklan berlampu neon.
Berjuta – juta harapan ibu dan bapak menjadi gemalau suara yang kacau, menjadi karang di bawah muka samudra
Inilah sajakku, pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan, apakah artinya berpikir bila terpisah dari masalah kehidupan
langit
membentang cakrawala di depan melambaikan tantangan di atas tanahku,
dari dalam airku tumbuh kebahagiaan, di sawah kampungku, di jalan kotaku
terbit kesejahteraan.
Tapi kuheran di tengah perjalanan muncullah ketimpangan aku heran, aku heran, yang salah dipertahankan yang benar disingkirkan
Perahu
negeriku, perahu bangsaku, jangan retak dindingmu, semangat rakyatku,
derap kaki tekadmu jangan terantuk batu, tanah pertiwi anugerah ilahi
jangan ambil sendiri, tanah pertiwi anugerah ilahi jangan makan sendiri.
aku heran, satu kenyang, seribu kelaparan, keserakahan diagungka.
Sudah panjang tapi kok masih kurang..
0 komentar:
Posting Komentar