Malam ini kembali aku menyepuh huruf demi huruf menjadi rangkaian aksara menghiasi lanskap hati kelu
seperti
dalam imajiku yang kulebur menjadi nafas puisi berkelakar diantara riuh
hati candu yang kau lumat menjadi sepotong sajak membangun rumah baru
di dadaku.
kau telah mengurai ribuan hikayatku menanam dzikir sampai kularut bergeming pada satu telaga yaitu dermaga hati yang menyatu.
Aku
mengendapkan luka menjadi mutiara menguntainya menjadi tasbih untukmu
kuharap terpahatkan marjan rindu di dinding-dinding hati kita terpaut
dalam satu lambaian temaram lampu itu.
Inilah ayat-ayat rinduku
mendesirkan doa di setiap siku senyuman mutiara langkah yang gamang pada
jejak kita laksana prosa cinta menunggu di rahim waktu sampai
lamat-lamat kita berada di serambi penghujung petang serambi waktu.
Ada
racun lagu duka menekur di balik jeruji hatiku seperti mengkhianati
bumi, kembali kuluruhkan malam dengan aroma candu, dengan semerbaknya
memenuhi ruang batas fikiran kelu.
Seperti terkungkung dalam
belenggu aku tak mampu mengurai jeratan-jeratan yang mengikat kaki dan
tanganku, hingga ku terpasung dalam muramnya kebimbangan, dalam keruhnya
toya cobekan, dalam bayang bayang timbang ketidakpastian.
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhh...
Bumiku
hangus terbakar merambat ke dinding otakku terkurapi oleh hasrat hitam
"begitu bengis ruang temaram itu?" mengalir di darahku sampai kulumpuh
dari pisau yang berulang menikamku. Tiada kabut abu-abu lagi di perutku
sebab sudah kumuntahkan angin hitam mengandung sunyi, maka biarkan aku
mengutuki kejemuan sunyi ini gunaku merenungi akhir menuju terang esok
hari.
Sebenarnya kau telah menyanyikan lagu ilalang yang kunikmati sebelum senja namun terlalu lama kumenanti
syair-syair
indah yang bersenandung lembut di telingaku, sampai kujemu dan
berangkat menuju hati yang penuh teka-teki, terlalu sulit untuk mengikat
benang hati yang terurai walau kita pernah mengira bisa terikat walau
berada di ujung dunia.
Selalu seperti itu aku tak mampu melawan
tembang klise yang kerap aku dengar dari bibir para pelagu, hingga suatu
saat nanti kau mengartikan semiotik bercak air mata di lembar puisiku
yang pasti kau tahu itu mengapa aku menjadi bahan celotehmu.
Entah berapa coretan mentahku ini yang akan memenuhi dinding dinding di berandamu..
Biarlah apa katamu, esok aku kan kembali melarik lagu lagu rayu pada Tuhanku
0 komentar:
Posting Komentar