728x90 AdSpace

  • LATEST NEWS

    Sabtu, 08 November 2014

    Lakon Kauripan

    Dalam pekat malam, orang-orang terikat tangannya itu dikumpulkan. Entah kapan diciduknya dan entah dimana lebih dahulu disiksa hingga tubuh mereka babak belur berjalan sempoyongan sambil mengerang. Mengaduh dan melenguh merindingkan bulu kuduk yang mendengar. Suaranya menggema di antara derap sepatu dan laras panjang yang tersampir pada pundak para tentara. Betapa pedih dan teraniaya hati ini menyaksikannya. Dingin malam tak lagi terasa manakala bulir keringat bergelinding berjatuhan. Bunyi satwa malam menjadi penghantar kematian masal. Dari derik jangkrik di balik rongga rerumputan, sampai lolongan panjang anjing malam. Nyamuk yang merubung menghisap darah betis dan lengan lenyap tiba-tiba, mereka bersorak gembira karena sesaat lagi cairan merah yang diincar akan menghampar. Lapangan yang menjadi saksi bisu menahan nafas saat aku melangkah. “Anjing!” teriakkan aba-aba yang menggelegar itu mendorongku sekuatnya. “Gila!” secepatnya aku menyahut dan mengangkat parang. Crashh! Ku hapus cipratan kental merah yang memuncrati wajah bersamaan dengan menggelindingnya kepala besimbah darah. Ritual yang terulang dan terus berulang. Entah berapa puluh hingga ratus aku telah memenggal. Aku tahu di balik pohon dan bebukitan mata-mata ketakutan penduduk tengah menyaksikan. Mereka mengintip kekejian yang aku lakukan terhadap warga kampung, teman atau bahkan saudaranya. Sebelum akhirnya mereka lari ke hutan-hutan, sembunyi dari kejaran tentara. Seperti aku, masyarakat juga tak pernah tahu apa kesalahan mereka yang terpisahkan nyawa dari raganya secara paksa. “Mereka tak bersalah. Sebagai petani biasa mana mungkin tahu soal politik? Berkecimpung saja tidak,” radang warga membabi buta. Mempertanyakan ketidak-jelasan mengapa mereka diburu dan dibunuh. Tak ada pengadilan yang lebih dulu membuktikan kesalahan mereka. Dan jawaban setelah pembantaian biadab itu, ialah puing-puing hangus sisa pembakaran sekolah-sekolah umum yang dilakukan tentara. Kini, tinggal aku bersama segala bayangan itu. Hidup menyendiri, sesekali disambangi cucu yang menjadi satu-satunya warisan hidup. Menempati rumah sangat sederhana berdinding bilah bambu dan lantai tanah. Malam yang menyelimutiku masih menakutkan karena malam-malam bisu di rumahku tidak berlistrik sebagai penerang. Meski hidup jauh dari tetangga, harus turun menuju lembah dari jalan utama untuk sampai di rumah, aku tak gentar menjalaninya. Hidup terpencil dan dikucilkan warga kusadari sudah sewajarnya aku terima. “Jangan mimpi minta keadilan kepada kami. Pembunuh keji macam kakekmu itu masih beruntung kami biarkan hidup.” Perkataan warga pada Daniel cucuku itu memang benar. Dulu, aku sendiri justru yang berniat menghabisi diri manakala mengingat pembantaian-pembantaian itu. Kebencianku pada diri sendiri yang tak mampu melawan tekanan mengakibatkan hilang nyawa orang-orang tak berdosa. Lalu apa artinya aku masih diberi nafas? Tapi ternyata Tuhan masih memberiku kesempatan hidup walau aku akui dosa dan kesalahanku tak tertakar. Melebihi dalam dan luasnya lautan, lebih dari tingginya angkasa beserta isinya. Aku sendiri begitu merasa jijik dan hina, lalu bagaimana dengan sanak keluarga korban yang aku penggal? Melihat kehidupanku bagai orang primitif di era milenium berpuluh tahun pasca kemerdekaan, Daniel berkali-kali mencoba meminta kepada warga untuk memperlakukan aku dengan wajar. Tapi warga yang tahu siapa aku hanya dari selentingan omongan orang tak mau peduli. Pembunuh adalah pembunuh, walau mereka tak mampu memenjarakanku tapi mereka menghukumku dengan mengucilkan dan mengasingkan hidupku. Aku menerima penuh suka cita, meski Daniel tidak. Pohon jambu mete yang menjuntai ke tanah saking tuanya semakin akrab jadi tempatku menenggelamkan diri dari pandangan orang. Sunyi dan sepi di antara pepohonan cengkeh dan asem ini kurasakan lebih indah dari pada hidup di tengah warga yang tak lepas dari caci dan cibiran. Di dasar lembah yang terasing ini kadang-kadang sayup-sayup terdengar senandung. Dialah Lelidi, wanita belasan tahun lebih muda dari usiaku dengan mengenakan pakaian adat; baju atasan warna menyala dan memakai sarung tenun ikat. Jika jambu mete matang, sewaktu-waktu dia datang memanennya sambil berlagu. Nadanya terdengar lirih, seperti tengah merapal. Untuk yang pertamakalinya mendengar kupastikan tak kan mengerti akan liriknya. Kecuali aku, mendengar lantunannya dari suaranya yang tipis itu membuat ingatanku melesat menembus gelapnya rimbun pepohonan. Membawaku berkunjung ke alam silam, saat Lelidi berumur tujuh belasan. Aku tahu benar, senandung itu berjudul Wohe Hoer atau ratapan. Lelidi membuatnya tahun 1965, mengenang tragedi pembantaian orang kampung yang dituduh sebagai anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia. Tak perlu banyak bicara, aku tahu benar Lelidi menyaksikan pembantaian yang dilakukan algojo yang diperintah oleh tentara Indonesia pada 14 November. Kejadian pembantaian serupa juga terjadi di kampung lain. Orang-orang yang selamat saling bertukar cerita dan penglihatan. Banyak korban yang dibuang ke laut, ada juga yang dikubur, dikumpulkan dalam satu lubang. Tepat tiga hari sesudahnya, Lelidi membuat lirik untuk mengenang peristiwa hitam di tanah Flores itu.. Suhu politik lagi tinggi Ia pergi ke Jerman Kemudian terjadi musibah Masyarakat terpecah belah Tidak tahu kemana Tidak tahu pegangan hidup Mereka pergi ke hutan-hutan Untuk mencari keselamatan diri Kami sendiri Tidak tahu berlindung kemana Hanya kepada pastor dan kepada Tuhan Ini jalan satu-satunya Kami tidak tahu berbuat salah apa Kemana orang-orang dibawa Kepada masyarakat yang masih punya telinga untuk mendengar dan mata yang masih melihat Tidak tahu kenapa orang-orang dimusnahkan Kepada siapa kami mengadu Hanya ada satu jalan, kepada pastor dan kepada Tuhan. Setiap kali Lelidi menyenandungkan lagu itu, setiap kali itu pula hatiku yang pilu bagai disayat sembilu terbawa pada kenangan lama. Saat jauh hari sebelum pembantaian itu terjadi ada orang yang datang ke kampung mendata nama. Katanya penerima bantuan makanan pokok seperti beras, jagung dan minyak tanah. Tak tahu dari siapa, mengapa dan apa tujuannya mereka, orang-orang tercatat menerima bantuan itu. Daftar nama penerima ini yang kelak pada akhirnya aku ketahui menjadi sasaran pembantaian. Aku yang dipilih sebagai algojo bersama algojo lain tidak boleh meneteskan air mata. Jika aku melakukannya, aku sendiri yang akan menjadi korban pembantaian oleh tentara. Sebagai algojo, aku harus memenggal kepala satu kali tebas. Sakit sekali hati ini jika mengenangnya. Warga tak ada yang mau tahu siapa sebenarnya algojo itu. Mereka tak mau mengerti bagaimana posisiku, apakah aku memang seorang eksekutor? Tidakkah mereka merasakan bagaimana perasaanku saat menjalani suruhan secara paksa diperintah oleh tentara untuk melakukan sejumlah pembantaian? Tidakkah mereka memahami posisi para algojo walau ku akui aku memang berperan sebagai pelaku, tapi aku juga seorang korban. Warga biasa yang mengalami intimidasi dan juga teror dari tentara? Memang sebagian keluarga korban sudah menutup rapat-rapat peristiwa keji itu. Menilai peristiwa 65 sudah selesai dan tak perlu diungkap. Masa gelap saat hukum tidak jalan. Dan warga memilih mencari jalan terang saja. Walau aku yakin tak mudah melupakan ingatan pahit yang terjadi saat itu. Keluarga korban memilih diam dan membenamkan ingatannya. Terlebih saat jaman Orde Baru pimpinan Soeharto, orang tak berani membicarakan hal yang ada sangkut pautnya dengan PKI. Apalagi mengusut kekerasan dan kejahatan yang dilakukan tentara termasuk keterlibatan pemimpin Orde Baru di dalamnya. Bukankah setiap komunisme dibumi-hanguskan hingga ke akar-akarnya? Aku mendengar jutaan buku dan karya dibakar. Tak ada yang berani bicara ataupun menulis dari sudut pandang manapun sampai era reformasi tiba. Karenanya banyak keluarga korban yang melupakan peristiwa tragis itu. Walau ada sebagian keluarga korban yang menuntut hak kepada negara untuk sekedar memulihkan nama, dan atau menuntut keadilan terhadap para pelaku yang melakukan kekerasan dan kejahatan hak azasi manusia, namun hingga kini tak ada pengadilan mengenai kekerasan 65 apalagi membuktikan pelaku utama yang bertanggung jawab terhadap kekerasan intimidasi peristiwa itu. Aku tahu mereka yang aku bantai diantaranya justru ada yang gigih memperjuangkan kecerdasan bagi orang-orang timur. Mendirikan banyak sekolah, dan jelas bukan PKI. Tapi ini politik, meski aku tak tahu bagaimana persisnya. Yang tak akan kulupa pula peristiwa pembantaian pada Februari 1966. Saat Maumere dilanda musim kering berkepanjangan. Dimana-mana tanaman gagal dipanen. Saat itu tentara mengumpulkan sepuluh pemuda seumuranku dan tanpa diduga, aku terpilih secara paksa sekaligus sebagai perintah tentara sebagai algojo nomor dua. Tentara mengajarkan bagaimana cara melakukan pembantaian berupa potong kepala dengan parang, cara mengikat dan mengikuti kode-kode penyerbuan. Aku dan algojo-algojo yang mereka pilih akan menjadi korban yang sama jika ada calon korban berhasil selamat dari sasaran. Bukan hanya itu, tentara juga akan mengambil lima orang korban tambahan sebagai penggantinya. “Satu kamu dan empat lainnya keluarga terdekatmu!” begitu ancam para tentara itu. Aku dan kawan-kawan yang telah mereka pilih terpaksa mengikuti latihan bagaimana mengikuti prosedur penyergapan. Tentara memberikan aba-aba berupa teriakan “Anjing!” dan kami para algojo menyahutnya, “Gila!” Menyebut dirinya sebagai Komando Operasi Pemberantasan, para tentara ini mengikatkan kain berwarna merah di lengan dengan tulisan berwarna putih. Aku mendapat jatah memenggal sepuluh orang. Tak tahu pasti mengapa mereka harus dibunuh. Tentara hanya mengatakan bahwa orang-orang itu terlibat PKI. Pemenggalan terjadi malam hari, setelah lubang dengan panjang dan kedalaman dua meter serta lebar satu meter dipersiapkan sebelumnya. Saat kondisi mereka lemah dan menyedihkan, tentara masih menggunakan besi panas dan menyabetnya di punggung. Lebam dan luka-luka di wajah serta sekujur tubuh membuatku tak mengenali siapa-siapanya meski aku tahu, mereka berasal dari Moropiring, Baubatun, dan Dobo. Gelap, ngeri, tak ada pilihan. Meski aku dengan sangat terpaksa harus mengikat kakak sendiri dan menyerahkannya pada tentara. Sejak itu, tak ada kabar dan penjelasan. Pernah Daniel cucuku bercerita ada mahasiswa dari Jakarta, menanyakan kepada Kodim alasan dan peristiwa pembantaian itu. Jawabannya, “Ini rahasia negara,” begitu katanya kepada mahasiswa itu. Puas tidak puas peristiwa paling pahit sepanjang ingatan itu tak bisa dibongkar. Sampai kapan pertanyaan serupa timbul, ini rahasia negara atau pelanggaran hak azasi? Lelidi mengenang peristiwa kelam itu lewat lagu. Seniman kecil ini mulai dikenal paling tidak di Kabupaten Sikka. Tapi tak jauh beda dengan keadaanku, ekonominya jauh dari sejahtera. Ia dan suaminya hanya mengurusi kebun kecil dan sebagian tanahnya menjadi jaminan pegadaian. Peristiwa demi peristiwa pada tahun 1965 tak akan pernah terlupakan. Pengalaman terkelam seumur hidupku. 12 ribu orang lebih dibuang ke Pulau Buru, diperkirakan dua juta orang lebih mati dengan cara mengenaskan. Dari daerah Nusa Tenggara Timur diperkirakan warga yang dibantai antara 50 ribu hingga 200 ribu orang. Aku sempat mendengar dari pembicaraan orang, penelitian Robert Cribb dalam bukunya The Indonesian Killings: Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966. Menerangkan kejadian pembantaian terbesar terjadi di Jawa dan Bali. Peristiwa ini menjatuhkan Soekarno dan dua tahun kemudian, Soeharto menjadi presiden kedua Republik Indonesia. Pada masa pemerintahan inilah adanya pelarangan besar-besaran segala hal yang berkaitan dengan komunisme baik buku-buku maupun lagu-lagu. Hingga reformasi bergulir sekian lama, pemerintah Indonesia belum mencabut ketetapan yang melarang komunisme. Termasuk melakukan rehabilitasi, pemulihan dan bantuan terhadap keluarga korban. Beruntung lagu Ratapan yang diciptakan Lelidi tidak ikut dilarang. Sekian tahun aku hidup terasing dan diasingkan, sekian lama itu pula hatiku bertanya-tanya. Flores cukup jauh dari Jawa, tapi kenapa pembantaian juga terjadi di bumi ini? Benarkah ada pengaruh PKI di bumi Flores ini hingga terjadi pembantaian ke kampung-kampung kami di Dobo, Moropiring, dan Baubatun, sementara di kota Maumere aman-aman saja? Ingin aku mendesak para penguasa supaya lebih terbuka dan jujur tentang peran apa saja yang dimainkan mereka pada pembunuhan massa tahun 1965 itu. Saat Hindia Belanda mengasingkan Soekarno ke kota Ende tahun 1933, di kota kecil yang menghadap laut penuh ketenangan ini beliau merumuskan Pancasila yang menjadi dasar negara Republik Indonesia. Tersebut Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang adil dan beradab. Tapi mengapa pembantaian itu terjadi bukankah justru bertentangan dengan nilai kemanusiaan yang menjadi roh negara republik ini? Kemerdekaan telah sekian puluh tahun, tapi dimana-mana masih tampak kekerasan dan ketidak-adilan. Kemiskinan dan kebodohan kian merajalela. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sama sekali tidak bernilai. Bukan hanya di Flores, tapi di sepanjang Sabang sampai Merauke. Di bumi Nusa Tenggara Timur ini, khususnya Pulau Flores dan sekiatarnya yang terisolasi keadaan geografisnya cukup kering. Menyebabkan kemiskinan kian berkepanjangan. Yang bisa dilakukan orang-orang dikampungku sebisanya memberdayakan diri agar mandiri. Terlepas dari jerat hutang dan kemiskinan. Banyak warga yang belum mendapatkan akses listrik. Termasuk mengandalkan air hujan untuk minum seperti yang dilakukan warga daerah perbukitan Watublapi. Mungkin karena kemelaratan ini menyebabkan PKI dulu mudah merasuk mendekati rakyat. Kegiatan-kegiatan PKI yang terjun langsung dalam masyarakat seperti masalah pertanian menyebabkan orang-orang kampung mudah menerima. Tapi, apakah keluar dari kemiskinan termasuk monopoli ideologi? Bukankah tujuan kehidupan adalah tercapainya kesejahteraan dan berkeadilan? Bukankah setiap manusia memiliki hak untuk keluar dari kemelaratan hidup dan mendapatkan kemerdekaannya. Memang tak mudah melacak kebenaran yang terjadi berpuluh-puluh tahun silam. Yang pasti, kejadian pahit dan tragedi kemanusiaan di Maumere dan mungkin di wilayah Flores lainnya telah meninggalkan luka teramat dalam. Peristiwa kelam itu tentu saja membekas pada keluarga korban. Tak hanya di Flores tapi juga di wilayah lainnya di negeri ini. Lelidi, petang ini kembali mendatangi lembah dimana gubukku berdiri. Memunguti jambu-jambu mete yang akan diolahnya sambil menyenandungkan lagu yang dicipta mengenang peristiwa 1965. Mempertanyakan ia dan masyarakat lainnya tak mengerti mengapa peristiwa bengis itu terjadi di Flores. Lelidi telah mencatatkan sejarah hitam melalui sebuah lagu. Dan mereka akan selalu mengenang dan tidak melupakan kejadian pahit itu. Hanya doa, obat penenang kegelisahannya. Seperti liriknya, kepada siapa kami mengadu. Hanya ada satu jalan, kepada pastor dan kepada Tuhan. Setiap senandung Lelidi terdengar di antara desah dau-daun dan angin lembah yang berhembus, setiap itu pula hatiku merasakan kesulitan yang tiada tara. Sulit membayangkan bagaimana posisiku saat itu. Merasakan luka, menahan amarah, hingga memendam ingatan pahit. Dan akhirnya harus menerima keadaan dengan cara melupakan tragedi kemanusiaan sepanjang sejarah republik ini. Tentu saja tidak mudah memaafkan kesalahan diriku. Siapapun orangnya yang masih memiliki hati nurani dan kemanusiaan akan mengutuk peristiwa biadab itu. Apa artinya kebenaran kalau ia tak berdaya dan lumpuh? Apa artinya kemerdekaan, jika hidup dalam kemelaratan? Kemanusiaan hanya menjadi debu dan puing dalam sejarah yang setiap detiknya hanya bisa aku ratapi… Hahahahahahahahahahahahaha….
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Posting Komentar

    Item Reviewed: Lakon Kauripan Rating: 5 Reviewed By: Unknown
    Scroll to Top