Dalam pekat malam, orang-orang terikat tangannya itu dikumpulkan. Entah
kapan diciduknya dan entah dimana lebih dahulu disiksa hingga tubuh
mereka babak belur berjalan sempoyongan sambil mengerang. Mengaduh dan
melenguh merindingkan bulu kuduk yang mendengar. Suaranya menggema di
antara derap sepatu dan laras panjang yang tersampir pada pundak para
tentara. Betapa pedih dan teraniaya hati ini menyaksikannya. Dingin
malam tak lagi terasa manakala bulir keringat bergelinding berjatuhan.
Bunyi satwa malam menjadi penghantar kematian masal. Dari derik jangkrik
di balik rongga rerumputan, sampai lolongan panjang anjing malam.
Nyamuk yang merubung menghisap darah betis dan lengan lenyap tiba-tiba,
mereka bersorak gembira karena sesaat lagi cairan merah yang diincar
akan menghampar. Lapangan yang menjadi saksi bisu menahan nafas saat aku
melangkah. “Anjing!” teriakkan aba-aba yang menggelegar itu mendorongku
sekuatnya. “Gila!” secepatnya aku menyahut dan mengangkat parang.
Crashh! Ku hapus cipratan kental merah yang memuncrati wajah bersamaan
dengan menggelindingnya kepala besimbah darah. Ritual yang terulang dan
terus berulang. Entah berapa puluh hingga ratus aku telah memenggal. Aku
tahu di balik pohon dan bebukitan mata-mata ketakutan penduduk tengah
menyaksikan. Mereka mengintip kekejian yang aku lakukan terhadap warga
kampung, teman atau bahkan saudaranya. Sebelum akhirnya mereka lari ke
hutan-hutan, sembunyi dari kejaran tentara. Seperti aku, masyarakat juga
tak pernah tahu apa kesalahan mereka yang terpisahkan nyawa dari
raganya secara paksa. “Mereka tak bersalah. Sebagai petani biasa mana
mungkin tahu soal politik? Berkecimpung saja tidak,” radang warga
membabi buta. Mempertanyakan ketidak-jelasan mengapa mereka diburu dan
dibunuh. Tak ada pengadilan yang lebih dulu membuktikan kesalahan
mereka. Dan jawaban setelah pembantaian biadab itu, ialah puing-puing
hangus sisa pembakaran sekolah-sekolah umum yang dilakukan tentara.
Kini, tinggal aku bersama segala bayangan itu. Hidup menyendiri,
sesekali disambangi cucu yang menjadi satu-satunya warisan hidup.
Menempati rumah sangat sederhana berdinding bilah bambu dan lantai
tanah. Malam yang menyelimutiku masih menakutkan karena malam-malam bisu
di rumahku tidak berlistrik sebagai penerang. Meski hidup jauh dari
tetangga, harus turun menuju lembah dari jalan utama untuk sampai di
rumah, aku tak gentar menjalaninya. Hidup terpencil dan dikucilkan warga
kusadari sudah sewajarnya aku terima. “Jangan mimpi minta keadilan
kepada kami. Pembunuh keji macam kakekmu itu masih beruntung kami
biarkan hidup.” Perkataan warga pada Daniel cucuku itu memang benar.
Dulu, aku sendiri justru yang berniat menghabisi diri manakala mengingat
pembantaian-pembantaian itu. Kebencianku pada diri sendiri yang tak
mampu melawan tekanan mengakibatkan hilang nyawa orang-orang tak
berdosa. Lalu apa artinya aku masih diberi nafas? Tapi ternyata Tuhan
masih memberiku kesempatan hidup walau aku akui dosa dan kesalahanku tak
tertakar. Melebihi dalam dan luasnya lautan, lebih dari tingginya
angkasa beserta isinya. Aku sendiri begitu merasa jijik dan hina, lalu
bagaimana dengan sanak keluarga korban yang aku penggal? Melihat
kehidupanku bagai orang primitif di era milenium berpuluh tahun pasca
kemerdekaan, Daniel berkali-kali mencoba meminta kepada warga untuk
memperlakukan aku dengan wajar. Tapi warga yang tahu siapa aku hanya
dari selentingan omongan orang tak mau peduli. Pembunuh adalah pembunuh,
walau mereka tak mampu memenjarakanku tapi mereka menghukumku dengan
mengucilkan dan mengasingkan hidupku. Aku menerima penuh suka cita,
meski Daniel tidak. Pohon jambu mete yang menjuntai ke tanah saking
tuanya semakin akrab jadi tempatku menenggelamkan diri dari pandangan
orang. Sunyi dan sepi di antara pepohonan cengkeh dan asem ini kurasakan
lebih indah dari pada hidup di tengah warga yang tak lepas dari caci
dan cibiran. Di dasar lembah yang terasing ini kadang-kadang sayup-sayup
terdengar senandung. Dialah Lelidi, wanita belasan tahun lebih muda
dari usiaku dengan mengenakan pakaian adat; baju atasan warna menyala
dan memakai sarung tenun ikat. Jika jambu mete matang, sewaktu-waktu dia
datang memanennya sambil berlagu. Nadanya terdengar lirih, seperti
tengah merapal. Untuk yang pertamakalinya mendengar kupastikan tak kan
mengerti akan liriknya. Kecuali aku, mendengar lantunannya dari suaranya
yang tipis itu membuat ingatanku melesat menembus gelapnya rimbun
pepohonan. Membawaku berkunjung ke alam silam, saat Lelidi berumur tujuh
belasan. Aku tahu benar, senandung itu berjudul Wohe Hoer atau ratapan.
Lelidi membuatnya tahun 1965, mengenang tragedi pembantaian orang
kampung yang dituduh sebagai anggota dan simpatisan Partai Komunis
Indonesia. Tak perlu banyak bicara, aku tahu benar Lelidi menyaksikan
pembantaian yang dilakukan algojo yang diperintah oleh tentara Indonesia
pada 14 November. Kejadian pembantaian serupa juga terjadi di kampung
lain. Orang-orang yang selamat saling bertukar cerita dan penglihatan.
Banyak korban yang dibuang ke laut, ada juga yang dikubur, dikumpulkan
dalam satu lubang. Tepat tiga hari sesudahnya, Lelidi membuat lirik
untuk mengenang peristiwa hitam di tanah Flores itu.. Suhu politik lagi
tinggi Ia pergi ke Jerman Kemudian terjadi musibah Masyarakat terpecah
belah Tidak tahu kemana Tidak tahu pegangan hidup Mereka pergi ke
hutan-hutan Untuk mencari keselamatan diri Kami sendiri Tidak tahu
berlindung kemana Hanya kepada pastor dan kepada Tuhan Ini jalan
satu-satunya Kami tidak tahu berbuat salah apa Kemana orang-orang dibawa
Kepada masyarakat yang masih punya telinga untuk mendengar dan mata
yang masih melihat Tidak tahu kenapa orang-orang dimusnahkan Kepada
siapa kami mengadu Hanya ada satu jalan, kepada pastor dan kepada Tuhan.
Setiap kali Lelidi menyenandungkan lagu itu, setiap kali itu pula
hatiku yang pilu bagai disayat sembilu terbawa pada kenangan lama. Saat
jauh hari sebelum pembantaian itu terjadi ada orang yang datang ke
kampung mendata nama. Katanya penerima bantuan makanan pokok seperti
beras, jagung dan minyak tanah. Tak tahu dari siapa, mengapa dan apa
tujuannya mereka, orang-orang tercatat menerima bantuan itu. Daftar nama
penerima ini yang kelak pada akhirnya aku ketahui menjadi sasaran
pembantaian. Aku yang dipilih sebagai algojo bersama algojo lain tidak
boleh meneteskan air mata. Jika aku melakukannya, aku sendiri yang akan
menjadi korban pembantaian oleh tentara. Sebagai algojo, aku harus
memenggal kepala satu kali tebas. Sakit sekali hati ini jika
mengenangnya. Warga tak ada yang mau tahu siapa sebenarnya algojo itu.
Mereka tak mau mengerti bagaimana posisiku, apakah aku memang seorang
eksekutor? Tidakkah mereka merasakan bagaimana perasaanku saat menjalani
suruhan secara paksa diperintah oleh tentara untuk melakukan sejumlah
pembantaian? Tidakkah mereka memahami posisi para algojo walau ku akui
aku memang berperan sebagai pelaku, tapi aku juga seorang korban. Warga
biasa yang mengalami intimidasi dan juga teror dari tentara? Memang
sebagian keluarga korban sudah menutup rapat-rapat peristiwa keji itu.
Menilai peristiwa 65 sudah selesai dan tak perlu diungkap. Masa gelap
saat hukum tidak jalan. Dan warga memilih mencari jalan terang saja.
Walau aku yakin tak mudah melupakan ingatan pahit yang terjadi saat itu.
Keluarga korban memilih diam dan membenamkan ingatannya. Terlebih saat
jaman Orde Baru pimpinan Soeharto, orang tak berani membicarakan hal
yang ada sangkut pautnya dengan PKI. Apalagi mengusut kekerasan dan
kejahatan yang dilakukan tentara termasuk keterlibatan pemimpin Orde
Baru di dalamnya. Bukankah setiap komunisme dibumi-hanguskan hingga ke
akar-akarnya? Aku mendengar jutaan buku dan karya dibakar. Tak ada yang
berani bicara ataupun menulis dari sudut pandang manapun sampai era
reformasi tiba. Karenanya banyak keluarga korban yang melupakan
peristiwa tragis itu. Walau ada sebagian keluarga korban yang menuntut
hak kepada negara untuk sekedar memulihkan nama, dan atau menuntut
keadilan terhadap para pelaku yang melakukan kekerasan dan kejahatan hak
azasi manusia, namun hingga kini tak ada pengadilan mengenai kekerasan
65 apalagi membuktikan pelaku utama yang bertanggung jawab terhadap
kekerasan intimidasi peristiwa itu. Aku tahu mereka yang aku bantai
diantaranya justru ada yang gigih memperjuangkan kecerdasan bagi
orang-orang timur. Mendirikan banyak sekolah, dan jelas bukan PKI. Tapi
ini politik, meski aku tak tahu bagaimana persisnya. Yang tak akan
kulupa pula peristiwa pembantaian pada Februari 1966. Saat Maumere
dilanda musim kering berkepanjangan. Dimana-mana tanaman gagal dipanen.
Saat itu tentara mengumpulkan sepuluh pemuda seumuranku dan tanpa
diduga, aku terpilih secara paksa sekaligus sebagai perintah tentara
sebagai algojo nomor dua. Tentara mengajarkan bagaimana cara melakukan
pembantaian berupa potong kepala dengan parang, cara mengikat dan
mengikuti kode-kode penyerbuan. Aku dan algojo-algojo yang mereka pilih
akan menjadi korban yang sama jika ada calon korban berhasil selamat
dari sasaran. Bukan hanya itu, tentara juga akan mengambil lima orang
korban tambahan sebagai penggantinya. “Satu kamu dan empat lainnya
keluarga terdekatmu!” begitu ancam para tentara itu. Aku dan kawan-kawan
yang telah mereka pilih terpaksa mengikuti latihan bagaimana mengikuti
prosedur penyergapan. Tentara memberikan aba-aba berupa teriakan
“Anjing!” dan kami para algojo menyahutnya, “Gila!” Menyebut dirinya
sebagai Komando Operasi Pemberantasan, para tentara ini mengikatkan kain
berwarna merah di lengan dengan tulisan berwarna putih. Aku mendapat
jatah memenggal sepuluh orang. Tak tahu pasti mengapa mereka harus
dibunuh. Tentara hanya mengatakan bahwa orang-orang itu terlibat PKI.
Pemenggalan terjadi malam hari, setelah lubang dengan panjang dan
kedalaman dua meter serta lebar satu meter dipersiapkan sebelumnya. Saat
kondisi mereka lemah dan menyedihkan, tentara masih menggunakan besi
panas dan menyabetnya di punggung. Lebam dan luka-luka di wajah serta
sekujur tubuh membuatku tak mengenali siapa-siapanya meski aku tahu,
mereka berasal dari Moropiring, Baubatun, dan Dobo. Gelap, ngeri, tak
ada pilihan. Meski aku dengan sangat terpaksa harus mengikat kakak
sendiri dan menyerahkannya pada tentara. Sejak itu, tak ada kabar dan
penjelasan. Pernah Daniel cucuku bercerita ada mahasiswa dari Jakarta,
menanyakan kepada Kodim alasan dan peristiwa pembantaian itu.
Jawabannya, “Ini rahasia negara,” begitu katanya kepada mahasiswa itu.
Puas tidak puas peristiwa paling pahit sepanjang ingatan itu tak bisa
dibongkar. Sampai kapan pertanyaan serupa timbul, ini rahasia negara
atau pelanggaran hak azasi? Lelidi mengenang peristiwa kelam itu lewat
lagu. Seniman kecil ini mulai dikenal paling tidak di Kabupaten Sikka.
Tapi tak jauh beda dengan keadaanku, ekonominya jauh dari sejahtera. Ia
dan suaminya hanya mengurusi kebun kecil dan sebagian tanahnya menjadi
jaminan pegadaian. Peristiwa demi peristiwa pada tahun 1965 tak akan
pernah terlupakan. Pengalaman terkelam seumur hidupku. 12 ribu orang
lebih dibuang ke Pulau Buru, diperkirakan dua juta orang lebih mati
dengan cara mengenaskan. Dari daerah Nusa Tenggara Timur diperkirakan
warga yang dibantai antara 50 ribu hingga 200 ribu orang. Aku sempat
mendengar dari pembicaraan orang, penelitian Robert Cribb dalam bukunya
The Indonesian Killings: Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966.
Menerangkan kejadian pembantaian terbesar terjadi di Jawa dan Bali.
Peristiwa ini menjatuhkan Soekarno dan dua tahun kemudian, Soeharto
menjadi presiden kedua Republik Indonesia. Pada masa pemerintahan inilah
adanya pelarangan besar-besaran segala hal yang berkaitan dengan
komunisme baik buku-buku maupun lagu-lagu. Hingga reformasi bergulir
sekian lama, pemerintah Indonesia belum mencabut ketetapan yang melarang
komunisme. Termasuk melakukan rehabilitasi, pemulihan dan bantuan
terhadap keluarga korban. Beruntung lagu Ratapan yang diciptakan Lelidi
tidak ikut dilarang. Sekian tahun aku hidup terasing dan diasingkan,
sekian lama itu pula hatiku bertanya-tanya. Flores cukup jauh dari Jawa,
tapi kenapa pembantaian juga terjadi di bumi ini? Benarkah ada pengaruh
PKI di bumi Flores ini hingga terjadi pembantaian ke kampung-kampung
kami di Dobo, Moropiring, dan Baubatun, sementara di kota Maumere
aman-aman saja? Ingin aku mendesak para penguasa supaya lebih terbuka
dan jujur tentang peran apa saja yang dimainkan mereka pada pembunuhan
massa tahun 1965 itu. Saat Hindia Belanda mengasingkan Soekarno ke kota
Ende tahun 1933, di kota kecil yang menghadap laut penuh ketenangan ini
beliau merumuskan Pancasila yang menjadi dasar negara Republik
Indonesia. Tersebut Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang adil
dan beradab. Tapi mengapa pembantaian itu terjadi bukankah justru
bertentangan dengan nilai kemanusiaan yang menjadi roh negara republik
ini? Kemerdekaan telah sekian puluh tahun, tapi dimana-mana masih tampak
kekerasan dan ketidak-adilan. Kemiskinan dan kebodohan kian merajalela.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sama sekali tidak
bernilai. Bukan hanya di Flores, tapi di sepanjang Sabang sampai
Merauke. Di bumi Nusa Tenggara Timur ini, khususnya Pulau Flores dan
sekiatarnya yang terisolasi keadaan geografisnya cukup kering.
Menyebabkan kemiskinan kian berkepanjangan. Yang bisa dilakukan
orang-orang dikampungku sebisanya memberdayakan diri agar mandiri.
Terlepas dari jerat hutang dan kemiskinan. Banyak warga yang belum
mendapatkan akses listrik. Termasuk mengandalkan air hujan untuk minum
seperti yang dilakukan warga daerah perbukitan Watublapi. Mungkin karena
kemelaratan ini menyebabkan PKI dulu mudah merasuk mendekati rakyat.
Kegiatan-kegiatan PKI yang terjun langsung dalam masyarakat seperti
masalah pertanian menyebabkan orang-orang kampung mudah menerima. Tapi,
apakah keluar dari kemiskinan termasuk monopoli ideologi? Bukankah
tujuan kehidupan adalah tercapainya kesejahteraan dan berkeadilan?
Bukankah setiap manusia memiliki hak untuk keluar dari kemelaratan hidup
dan mendapatkan kemerdekaannya. Memang tak mudah melacak kebenaran yang
terjadi berpuluh-puluh tahun silam. Yang pasti, kejadian pahit dan
tragedi kemanusiaan di Maumere dan mungkin di wilayah Flores lainnya
telah meninggalkan luka teramat dalam. Peristiwa kelam itu tentu saja
membekas pada keluarga korban. Tak hanya di Flores tapi juga di wilayah
lainnya di negeri ini. Lelidi, petang ini kembali mendatangi lembah
dimana gubukku berdiri. Memunguti jambu-jambu mete yang akan diolahnya
sambil menyenandungkan lagu yang dicipta mengenang peristiwa 1965.
Mempertanyakan ia dan masyarakat lainnya tak mengerti mengapa peristiwa
bengis itu terjadi di Flores. Lelidi telah mencatatkan sejarah hitam
melalui sebuah lagu. Dan mereka akan selalu mengenang dan tidak
melupakan kejadian pahit itu. Hanya doa, obat penenang kegelisahannya.
Seperti liriknya, kepada siapa kami mengadu. Hanya ada satu jalan,
kepada pastor dan kepada Tuhan. Setiap senandung Lelidi terdengar di
antara desah dau-daun dan angin lembah yang berhembus, setiap itu pula
hatiku merasakan kesulitan yang tiada tara. Sulit membayangkan bagaimana
posisiku saat itu. Merasakan luka, menahan amarah, hingga memendam
ingatan pahit. Dan akhirnya harus menerima keadaan dengan cara melupakan
tragedi kemanusiaan sepanjang sejarah republik ini. Tentu saja tidak
mudah memaafkan kesalahan diriku. Siapapun orangnya yang masih memiliki
hati nurani dan kemanusiaan akan mengutuk peristiwa biadab itu. Apa
artinya kebenaran kalau ia tak berdaya dan lumpuh? Apa artinya
kemerdekaan, jika hidup dalam kemelaratan? Kemanusiaan hanya menjadi
debu dan puing dalam sejarah yang setiap detiknya hanya bisa aku ratapi…
Hahahahahahahahahahahahaha….
Sabtu, 08 November 2014
- Blogger Comments
- Facebook Comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar