Membahas
Islam sebagai agama berintikan kemanusiaan yang akan dikaitkan dengan
kondisi keindonesiaan, hendaknya dimulai dari ajaran universalitas Islam
itu sendiri. Masalahnya, sebagai agama universal, dengan seperangkat
ajaran teologi, ritual dan sistem kehidupan sosial, dapatkah Islam
berintegrasi dengan kondisi-kondisi lokal pada setiap bangsa dan
negara?, apakah hal seperti itu tidak mengebiri universalitas Islam itu
sendiri? Sebaliknya, dalam dunia yang semakin mengglobal ini,
nilai-nilai kemanusiaan pun semakin menjadi arus utama dari setiap
ideologi dan gerakan yang muncul dari berbagai pemikiran sebagai
cerminan dinamika peradaban manusia. Apakah Islam sebagai agama yang
punya ajaran teologi, ritual dan sistem sosial tertentu, dapat secara
terbuka menerima gagasan-gagasan kemanusiaan yang menjadi filosofi
peradaban dan kebudayaan moderen umat manusia dewasa ini. Hal-hal
tersebut itulah yang akan dicoba diurakan dalam makalah ini
Istilah
keindonesiaan dipakai sebagai ungkapan menyangkut predikat yang menjadi
ciri khas Indonesia. Antara lain ialah, Indonesia adalah negeri multi
etnis, budaya, bahasa dan agama. Atau bisa ditambahkan, Indonesia
adalah negeri kepulauan, diapit dua benua dan dua samudera, yang pernah
dijajah oleh bangsa Eropa (Portugis, Inggeris dan Belanda), kemudian
terakhir oleh Jepang, Negeri yang kehidupan sosialnya sangat komunal,
faternalistik, dengan kesetiakawanan yang tinggi. Masih banyak lagi
predikat lainnya, sesuai dengan budaya bangsa Indonesia sendiri yang
telah dirumus ringkas menjadi Pancasila.
Untuk
menguraikan secara sederhana, maka predikat keindonesiaan dapat
disimpul menjadi dua ciri khasnya, yakni peluralitas dan kebangsaan.
Dalam konteks itulah Islam akan berhadapan dengan kanyataan keragaman
agama, etnis dan budaya di Indonesia. Bagaimana Islam dapat menyapa
kondisi-kondisi lokal Idnonesia seperti itu. Sementara di satu sisi,
ajaran Islam yang dipahami bersifat universal itu harus pula beradaptasi
dengan paham kebangsaan Indonesia, padahal selama ini Islam dipandang
sebagai agama yang tidak membenarkan mitos kebangsaan. Maka secara
ideologis dapat pula dipertanyakan, apakah Islam dapat menerima paham
kebangsaan Indonesia dan ideologi Pancasila? Uraian berikut akan
berbicara seputar dua masalah tersebut.
Bahwa nenek moyang bangsa ini sejak dahulu kala telah berada dan hidup di nusantara ini sebagai negeri mereka sendiri. Mereka
mulanya memiliki beragam keyakinan politeisme dan animisme sebelum
agama-agama monoteisme datang ke negeri ini. Mulanya datanglah
penganjur agama Hindu dan Budha, yang berhasil membangun kerajaan
Sriwijaya dan Majapahit. Kemudian datang pula penganjur Islam, dengan
cara damai berdagang dan berdakwah, sehingga sebahagian generasi bangsa
ini pun menganut Islam. Sebahagian lagi kemudian menganut Kristen
setelah misi dagang Portugis dan Belanda (VOC) beroperasi; yang lainnya
tetap menganut Hindu dan Budha, walaupun Sriwijaya dan Majapahit telah
runtuh. Selebihnya masih tetap pada kepercayaan lama yang politeis.
Semua agama dan kepercayaan itu hidup berdampingan sebagai pewaris yang
sah dan mempunyai hak yang sama di negeri yang bernama Indonesia Raya
ini.
Maka
di nusantara inilah, Islam berkenalan dengan produk budaya asli
Indonesia. Para pedagang Arab yang datang ke bagian utara Sumatera,
kemudian merambah ke Jawa dan pulau-pulau lainnya, menemukan tradisi
lokal yang berbeda dengan tradisi Arab. Pedagang Arab dan penganjur
Islam itu akhirnya berbaur dengan masyarakat lewat lembaga perkawinan.
Asimilasi
mereka dengan masyarakat asli, tidak hanya sebatas perkawinan, tetapi
juga melibatkan agama dan tradisi lokal. Hal ini dimulai dari persoalan
ibadah dan kelengkapannya, misalnya menyangkut pakaian, tempat ibadah,
cara menyeru orang untuk datang beribadah dan sebagainya. Pakaian
sehari-hari masyarakat ialah sarung dan kemeja tutup, dilengkapi dengan
penutup kepala yang khas pada masing-masing daerah. Para penganjur
Islam dari Arab tidak memaksakan tradisi jubah dan serban Arab, justru
mereka menerima tradisi sarungan khas Indonesia. Jubah di kala itu,
oleh masyarakat asli Indonesa dipandang sebagai pakaian kebesaran di
kalangan ningrat. Maka jubah pun kemudian menjadi pakaian istana,
terutama oleh pangeran-pengeran yang menekuni pengajian keislaman.
Rumah-rumah
ibadah, masjid dan mushalla, pun dibangun tidak seperti bangunan Timur
Tengah yang pada umumnya berkubah. Bangunan khas masjid Indonesia
justru tiruan model pendopo, tempat berkumpulnya rakyat dan prajurit di
samping rumah raja-raja yang menganut Islam. Bahkan terkadang sisa-sisa
bangunan lama yang bernuansa Hindu dan Budha tetap dilestarikan,
menjadi bahagian rumah ibadah Islam.[2]
Sebelum beribadah (shalat), dari masjid dikumandangkan adzan. Karena
kondisi perkampungan masih terpisah-pisah, dibatasi oleh hutan dan
gunung-gunung, tak jarang pula sungai, maka adzan saja tidak cukup
efektif untuk menyeru mereka datang beribadah. Media kentongan yang
sudah ada di masyarakat, itu pun dimodifikasi secara inovatif menjadi
beduk, yang dipukul untuk menandai masuknya waktu shalat dan panggilan
berjamaah..
Berbagai
bentuk upacara pun kemudian dikonversi menjadi tradisi Islam di
Indonesia. Pesta panen sebelum datangnya Islam dikemas sebagai tanda
terima kasih para petani kepada dewa-dewa penguasa air, tanah dan
angin. Kedatangan Islam tidak serta merta menghilangkan tradisi seperti
itu, tetapi di kemas dalam keyakinan baru, menjadi upacara syukuran
kepada Allah SWT. Hasil panen yang dahulu dipersembahkan kepada tanah
dan air, disimpan di puncak gunung, atau dibuang ke laut, oleh Islam
diubah menjadi sebuah kenduri untuk makan bersama didahului dengan doa
kepada Allah SWT. Inilah awal acara-acara selamatan yang mentradisi
hampir di segenap komunitas Muslim di nusantara. Tradisi-tradisi
lainnya, menyangkut kelahiran, perkawinan dan kematian dikemas secara
Islam, tanpa membuang seluruh bentuk perlakuan tradisi sebelumnya.
Hal-hal seperti ini menjadi penjelas bahwa Islam datang ke Indonesia
dengan sangat ramah, menyapa dan menyerap kebudayaan lokal, kemudian
diberi baju keislaman; itulah Islam Keindonesiaan.
Di
Jawa, adalah terutama paling menonjol upaya penyatuan ajaran Islam
dengan budaya lokal. Acara pewayangan kemudian menjadi media paling
efektif dalam mengislamkan tak kurang dari 90% masyarakat Jawa. Dan
sebagai simbol pengislaman itu, diadakan acara khusus perayaan
“syahadatain”, yang hingga kini selalu dilakukan di lingkungan istana
Kesultanan Yogya, lazimnya disebut acara Sekaten (dari kata
syahadatain). Acara Sekaten kemudian menjadi acara peringatan maulid
Nabi Muhammad SAW khas Indonesia.
Dalam
bentuk yang lebih moderen lagi, perayaan Idil Fitri, yang biasanya
disemarakan dengan ziarah ke rumah-rumah tetangga dan sahabat, lambat
laun melahirkan tradisi baru yang disebut Hala bi Halal. Tradisi
salam-salaman secara masal ini dilakukan di tempat tertentu, masjid
atau lainnya, yang sekaligus bermakna sebagai kesetiakawanan dan
kegotong royongan, serta kehidupan komunal yang dikemas secara Islam.
Acara ini tidak pernah ditemukan di negeri Muslim di luar Indonesia, di
Tmur Tengah sekalipun.
Apa
yang disinggung di atas adalah sebahagian dari bentuk inklusfistik
ajaran Islam dalam penyiarannya di tengah keragaman budaya lokal
nusantara. Berikut kita akan melihat wajah inklusifistik itu dalam
pergaulan antar warga masyarakat, yang juga beragam etnis, agama dan
keyakinannya. Secara sepintas, menyangkut hal ini kita bisa membedakan
dua cara akomodatid integratif yang menandai sikap inklusif Islam. Pertama, ialah
pembauran antar warga itu sendiri, seperti yang terjadi misalnya di
Maluku, Irian Jaya, di Toraja Sulawesi Selatan dan di Sumatera. Kedua ialah
pembauran keyakinan dengan sisa-sisa kepercayaan lama, seperti yang
terjadi di kalangan masyarakat Jawa, yang kemudian melahirkan tradisi
kejawen, yang mengandung unsur mistik Islam, Hindu dan Budha.
Pembauran
antarumat beragama di Indonesia terjadi berkat adanya tradisi lokal
yang menjadi perekatnya. Misalnya di Maluku, dikenal tradisi Pela Gandong, yang intinya ialah rasa persaudaraan kekerabatan, walaupun berbeda agama. Pela artinya habis (final, ultimately) sedangkan gandong artinya Persaudaraan; maka Pela Gandong bermakna wujud persaudaraan yang final, tak akan ada lagi rasa persauadaraan yang lebih tinggi dan lebih luhur dari Pela Gandong. Maka
dengan Pela Gandong, anggota-anggota keluarga yang beda agama dapat
saja hidup dengan rukunnya. Juga dalam masyarakat, kerukunan dalam
bentuk gotong royong dan saling melindungi.
Demikian pula di kalangan masyarakat Toraja Sulawesi Selatan, dalam
satu keluarga dapat saja ditemukan penganut agama yang berbeda, namun
mereka tetap rukun-damai berkat adat Tongkonan. Tradisi Tongkonan berintikan rasa persaudaraan yang penuh kasih sayang tetap dijalin, walaupun agamanya berbeda. Tradisi “tongkon” (duduk
bersama) adalah musyawarah untuk membahas dan menyelesaikan persoalan
bersama merupakan sisi persaudaraan yang tertinggi dalam kekerabatan
Toraja. Tardisi ini telah ada sejak dahulu kala, seumur dengan
masyarakat Toraja sendiri, dilestarikan hingga sekarang ketika mereka
menganut agama yang berbeda-beda.
Sementara itu, di kalangan masyarakat Jawa dikenal budaya gotong-royong, yang
berarti bekerja sama. Istilah ini sudah meng-indonesia, telah
dimengerti dan dipakai sebagai bahasa sehari-hari oleh seluruh
masyarakat Indonesia. Tapi falsafah masyarakat Jawa yang lebih spesifik
lagi, ialah berbunyi mangan ora mangan asal ngumpul (makan
atau tidak makan asalkan berkumpul), mengandung makna kehidupan keluarga
atau kehidupan sosial yang amat dalam. Falsafah tersebut menjadikan
“makan” sebagai alat perekat rasa persaudaraan, karena pikiran dan kata
hati bisa berbeda dan bertentangan, tapi menyangkut soal makan, semua
orang bisa bersama, bisa terhimpun dalam suatu pesta kenduri, selamatan,
atau pesta perkawinan. Maka dalam setiap acara keagamaan pun, falsafah
ngumpul menjadi tradisi masyarakat Jawa, baik acara lebaran maupun natalan, semua kerabat keluarga harus ngumpul
di kediaman orang tua, nenek atau sesepuh. Yang tampak, bahwa tradisi
itu mampu merekat persaudaraan kekerabatn masyarakat Jawa walaupun
mungkin mereka berbeda agama. Atau tegasnya, ngumpul menjadi
sebuah sarana pembuktian eksistensi komunitas Jawa, juga sekaligus
sebagai media silaturahim antar sesama anggota kerabat, keluaraga. Sehingga tidaklah mengherankan, di dalam masyarakat tradisionil Jawa terdapat begitu banyak acaraseremonial dan simbolis yang berfungsi sebagai sarana berkumpulnya para anggota komunitas tersebut.
Dalam
pada itu, masyarakat Batak di Sumatera Utara, keharmonisan hubungan
keluarga diikat oleh adanya sistem kekerabatan marga-marga. Seperti
komuitas Jawa, perekat hubungan antarmarga bagi komunitas Batak juga
berhubungan dengan soal dapur (makan) yakni falsafah Dalihan Natolu (Tungku Bertiga)
Falsafah ini diambil dari tradisi masyarakat Batak memasak di atas tiga
tungku batu yang disebut dalihan, yang mengandung makna kebersamaan
dalam kehidupan yang adil. Bagi masyarakat Batak, tradisi Dalihan
Natolu menjadi referensi bagi semua sistem pergaulan yang berlaku di
kalangan mereka. Dengan demikian, sistem kekerabatan berdasarkan adat
tidak boleh terganggu akibat perbedaan agama yang datang kemudian.
Ketika mereka menganut Islam atau Kristen, maka hubungan antaragama yang
ada harus disesuaikan dengan falsafah Dalihan Natolu. Maka
kenyataannya, seorang Muslim sangat akrab dengan Kristen sesama
marganya, atau karena diharuskan oleh falsafah Dalihan Natolu. Wujud
pergaulan seperti ini merupakan khas Islam Indonesia, yang di negeri
Arab dipandang sebagai sesuatu yang aneh.
Sama khasnya pula dalam masyarakat Minang di Sumatera Barat, dikenal permusyawaratan warga dalam suatu lembaga yang bernama “Kerapatan Anak Nagari”. Bagi
mereka, hukum dan pimpinan yang tertinggi ada pada lembaga Kerapatan
Anak Nagari (KAN), yang di dalamnya berhimpun para pengulu.
Namun yang menjadi ciri khas utama bagi warga Minang ialah sistem
kekerabatan matrilineal, menurut garis keturunan ibu. Apapun corak
kepemimpinan dan hasil musyawrah yang dilahirkan oleh KAN, tidak keluar
dari koridor matrilineal itu. Hal ini pun menjadi ciri khas Islam di
Indonesia, sementara hampir semua komunitas Islam se dunia lebih
menganut fatrilineal.
Sistem matrilineal ini tetap dipertahankan masyarakat Islam Minangkabau bahkan selalu disempurnakan sampai sekarang, sejalan dengan penyempurnaan sistem adatnya.
Peranan seorang penghulu ataupun ninik mamak sangatlah penting sebagai
indikator apakah sistem matrilineal itu berjalan dengan baik. Sistem
matrilineal dijalankan sesuai dengan kemampuan dan penafsiran oleh
pelakunya; ninikmamak, kaum perempuan dan anak kemenakan. Namun, aturan baku tentang peranan seorang perempuan dan sanksihukum atas orang yang melanggarnya, sampai sekarang belum ada. Sistem itu pun hanya dilestarikan secara turun temurun kemudian disepakati dan dipatuhi atas kesadaran warga, tanpa referensi aturan tertulis.
Namun, penafsiran apapun dilakukan, pada dasarnya tidak lepas dari
fungsi perempuan itu sendiri, sebagai bukti betapa kuatnya sistem
tersebut. Bahkan dengan datangnya Islam, dan diterapkannya hukum
faraidh Islam dalam soal kewarisan, harta pusaka tetap dilindungi
berdasarkan sistem matrilineal.
Meskipun
orang Minang, hingga sekarang ini belum ada yang berani terang-terangan
menganut agama selain Islam, patut diyakini bahwa sistem kekerabatan
matrilineal di bawah ayoman KAN tersebut, jika diterapkan dengan baik,
akan tetap memelihara keharmonisan pergaulan antara mereka, termasuk
dalam keadaan terdapat warga yang beragama selain Islam.
Nasionalisme
Indonesia bukanlah sebuah chauvinisme ataupun rasialisme yang
memitoskan Indonesia mengatasi segala bangsa yang ada di dunia. Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, nasionalisme diartikan sebagai berikut:
“Nasionalisme
adalah paham kebangsaan yang tumbuh karena adanya persamaan nasib dan
sejarah serta kepentingan untuk hidup bersama-sama sebagai suatu bangsa
yang merdeka, bersatu, berdaulat, demokratis dan maju di dalam suatu
kesatuan bangsa dan negara serta cita-cita bersama guna mencapai,
memelihara dan mengabadikan identitas, persatuan, kemakmuran, dan
kekuatan atau kekuasaan negara bangsa yang bersangkutan”
Atau Nasionalisme Indonesia, sebagaimana Bung Karno mengutip Gandhi yang katanya: “My nationalism is humanitiy”.Selanjutnya
Bung Karno menegaskan dalam pidatonya di depan Dokuritsu Zyunbi
Tyoosakai pada tanggal 1 Juni 1945 sebagai berikut:
“Kebangsaan
yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme,
sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropa, yang mengatakan “Deutschland
uber Alles”. Tidak
ada yang setinggi Jermania, yang katanya bangsanya minulyo, berambut
jagung dan bermata biru—bangsa Aria—yang dianggapnya tertinggi di dunia,
sedang bangsa lain tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas
asas demikian, Tuan-tuan. Jangan berkata, bahwa bangsa Indonesia-lah
yang terbagus dan termuliya, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus
menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia.”
Sangat jelas, bahwa nasionalisme Indonesia tidak mengabaikan persaudaraan keislaman yang lebih luas, atau persaudaraan umat manusia yang berangkat dari spirit persamaan derajat kemanusiaan (al-musawah al-insaniyah). Di sisi lain, nasionalisme Indonesia bertumpu pada semangat persatuan yang menyimpul semua elemen internal Indonesia tanpa
melihat latar belakang etnis, agama, budaya dan bahasanya, untuk hidup
sebagai satu bangsa dalam rumah bersama Indonesia. Jadi, nasionalisme
Indonesia lebih bermakna sebagai wihdah wathaniyah (persatuan bangsa dalam satu tanah air) yang memberi ruang bagi pluralitas, dan sejalan dengan hubbu al-wathan minal iman (cinta tanah air adalah bahagian dari iman). Maka tegasnya, nasionalisme Indonesia sama sekali bukanlah fanatisme kebangsaan (`ashabiyyah), seperti dalam bentuk ashabiyyah Yahudi,
rasialisme Jerman dan politik apartheid di Afrika Selatan dahulu, yang
adalah sangat bertolak belakang dengan ajaran kemanusiaan universalitas
Islam
Dari sudut pandang Islam, nasionalisme Indonesia dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, ialah terwujudnya kesadaran sebagai satu bangsa dari kalangan etnis, agama dan budaya yang beragam dalam satu tanah air Indonesia. Sangat jelas adalah manifestasi
ajaran Islam tentang persatuan, sehingga tidaklah mungkin Islam akan
menolaknya. Sementara sisi kedua ialah semangat untuk menjadi suatu
bangsa yang hadir di tengah pergaulan antarbangsa di dunia. Dua sisi
tersebut terangkum dalam ayat berikut:
يَاأَيُّهَا
النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ
شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ
أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Wahai
sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari jenis
laki-laki dan perempuan, dan menjadikanmu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku, agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang termulia di
antara kamu ialah yang paling bertaqwa, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahu dan Memahami. (Q.S.al-Hujurat [49]: 13).
Untuk tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), meniscayakan semangat persatuan di kalangan bangsa sendiri. Kehadiran
Islam di Indonesia turut mempercapat rasa persatuan itu, sejak dari
upaya merintis kemerdekaan hingga mempertahankan bahkan mengisi
kemerdekaan. Dalam pada itulah, Islam menyapa beragaman etnis, agama
dan budaya yang memang sejak semula dari sananya sudah demikian. Maka
sisi lain dari nasionalisme Indonesia ialah pluralitas (kebhinnekaan),
yang disimpul menjadi satu kalimat: “Bhinneka Tunggal Ika”.
Risalah
Islam terbukti telah mampu merangkul keragaman yang telah mengindonesia
sejak dahulu kala jauh sebelum datangnya Islam ke nusantara.
Keindonesiaan seperti itu tersirat dalam Q.S.al-Hujurat (49): 13 yang dikutip di atas. Titik temu antara realitas kebhinnekaan dan pesan-pesan Al-Qur’an tentang kemanusiaan mengilhami ideologi nasionalisme, dan terbentuknya negara kebangsaan Indonesia. Kesadaran inilah yang menyemangati para ulama angkatan 45, sehingga rela menerima negara Pancasila, dan memandangnya sebagai pengamalan ajaran Islam universal dalam konteks kehidupan bangsa yang plural. Inilah salah satu sisi dari Islam Keindonesiaan.
Islam
memang menolak paham kebangsaan yang sangat radikal, yaitu
nasionalisme yang bercorak chauvinisme, yang dalam bahasa Arab disebut `ashabiyyah, . Chauvinsme atau `ashabiyyah adalah paham kebangsaan yang
kebablasan yang mengagung-agungkan kesatuan atau kelompoknya sendiri,
sering disertai dengan sebuah sikap agresif yang bringas. … … …
Chauvinisme pada umumnya dipandang sebagai sebuah fenomena sosial
moderen, yang telah banyak dikaitkan dengan imperialisme dan militerisme
ekstrim[11]
Bangsa
Arab yang sebahagian besarnya menganut Islam telah sekian lama mengubur
fanatisme kebangsaan chauvinist, berdasarkan ajaran Islam bahwa semua
umat manusia memiliki status derajat yang sama di hadapan Tuhan. Maka
selama berabad-abad teologi ashabiyah kaum Yahudi yang meyakini bangsanya sebagai pilihan Tuhan, tidak pernah akur dengan ajaran persamaan derajat (al-musawah) dalam Islam.
Sementara itu, paham `ashabiyyah kaum Yahudi berbenturan dahsyat pula dengan chauvinisme bangsa Jerman yang masing-masing mengaku sebagai manusia pilihan di muka bumi. Kaum Yahudi, mengaku bangsa pilihan Tuhan dengan referensi teologi, sementara Jerman memanipulasi teori sains dan teknologi bahwa mereka-lah
satu-satunya bangsa yang secara genetik memiliki fisik dan kecerdasan
yang luar biasa hebatnya di antara semua bangsa di dunia. Persaingan antara kedua bentuk `ashabiyyah ini berakhir dengan peristiwa kontroversial holocaust[12], yang merupakan upaya sistematis pembasmian etnis Yahudi di Eropa oleh Jerman dalam Perang Dunia II.
Melihat betapa bahayanya paham nasionalisme dalam arti `ashabiyyah itu,
maka pemikir dan tokoh pergerakan Islam semakin keras menolak paham
nasionalisme, tanpa membedakan antara nasionalisme chauvinistik dan
nasionalsme ala Indonesia. Penolakan terhadap nasionalisme semakin kuat
lagi setelah khilafah Turki Usmaniyah, imperium terakhir dunia Islam
menjadi runtuh akibat bangkitnya “nasionalisme” Arab. Realitas
tersebut menjadi bukti bagi pengingkar nasionalisme bahwa dunia Islam
akan terkoyak-koyak menjadi negara-negara kecil dan menjadi semakin
lemah tak berdaya menghadapi kolonialisme Barat, apabila gagasan
nasionalisme menjadi ideologi masing-masing etnis dan ras dalam dunia
Islam.
Sasaran penolakan tersebut sebenarnya adalah paham nasionalisme Arab yang ketika itu menekankan wathan (tanah
air), bahasa dan keistimewaan bangsanya sebagai asasnya. Mereka
mengusulkan dikembalikannya kejayaan Islam, ke tangan bangsa Arab.
Konferensi Nasionalis Arab pertama diadakan pada tahun 1913 di Paris.
Penguasa lokal Arab pun terlibat dalam Perang Dunia I guna semakin
meneguhkan gerakan kebangsaan mereka. Syarif Husen bekerjasama dengan
Perancis dan Inggeris, menggerakkan pemberontakan terhadap Kesultanan
Utsmaniyah dan membentuk kerajaan nasionalis Arab yang lepas dari
khilafah Turki Utsmaniyah.[13] Dampak negatif dari nasionalisme Arab inilah yang menimbulkan penolakan tanpa syarat terhadap paham nasionalisme.
Penolakan terhadap nasionalisme semakin mengkristal dengan bangkitnya gerakan Pan Islamisme di
bawah kepeloporan Sayid Jamaluddin Afghani dan Syekh Mohammad Abduh,
yang membangun solidaritas Islam sedunia menghadapi kepentingan
kolonialis Barat. Pan Islamisme tersebut sejatinya bukanlah gerakan
untuk sebuah imperium Islam, melainkan tidak lebih dari sebuah gerakan
solidaritas untuk melepaskan negeri-negeri Islam dari jajahan Barat. Gagasan
ini pada mulanya juga disambut baik oleh khilafah Turki Utsmani, dengan
harapan umat Islam sedunia dapat merapatkan barisan di bawah kekuasaannya
sendiri. Di sisi lain, karena gagasan tersebut bergulir untuk pertama
kalinya di kalangan Islam Sunni, maka dengan sendirinya tidak disambut
baik oleh kaum Syiah.
Sebenarnya,
penolakan paham nasionalisme demi memperjuangkan tegaknya khilafah
Islam, untuk zaman sekarang tidaklah realistis. Unsur-unsur dan faktor
yang memungkinkan tegaknya sebuah khilafah mencakup seluruh negeri
Muslim, dewasa ini semakin tidak terpenuhi dan tidak relevan lagi.
Khalifah-khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, faktor utama khilafah
mereka ialah otoritas pribadi sang Khalifah itu sendiri, sebagai
sahabat terdekat Rasulullah SAW dan kemudian terpilih melalui proses
demokrasi (musyawarah) menurut konteks zamannya. Legalitas mereka
sebagai Khalifah ditentukan oleh musyawarah dan posisinya sebagai
sahabat Nabi SAW serta kecerdasan dan keilmuannya begitu tinggi. Apalagi pada masa itu masih diberlakukan pula hadits: “Pemimpin itu harus dari kalangan Arab Quraisy”.[14]
Sesudah
itu lahirlah Khilafah Dinasti Umayah, di luar musyawarah, yang
legalitasnya tidak lagi berdasar pada persahabatan dengan Nabi SAW, dan
tidak pula dengan keilmuannya. Mereka tampil sebagai Khalifah, karena kekuasaan dan keberanian menyingkirkan lawan-lawan politiknya. Musuh utama mereka ialah ahlu bait (keluarga
Nabi SAW) dari garis keturunan Hasan dan Husain yang mereka bunuh
sebagai awal konflik tiada habisnya antara Sunni dan Syiah hingga
sekarang. Begitupun, Dinasti Abasiyah yang dibangun kemudian oleh
keturunan Abbas (paman Nabi SAW), yang legalitasnya ditentukan oleh dua
hal, yakni klaim sebagai keluarga
dekat Rasulullah SAW, ditambah kekuasaan dan keberaniannya menghabisi
lawan politiknya. Khalifah pertama, Abu Abbas, bergelar Al-Saffahkarena ketegasannya dalam menyingkirkan (membunuh) segenap lawan politiknya. Sisa-sisa
lawan politiknya yang masih hidup melarikan diri ke Afrka Utara dan
menyeberang ke Eropa kemudian membangun dinasti Umayah baru di Spanyol.
Terakhir, khilafah Turki Utsmani, yang legalitas kekuasaannya juga
tidak ditentukan oleh musyawarah, tidak pula dengan jalur kekerabatan
Rasulullah SAW, tetapi dengan keperkasaan berekspansi sampai menguasai
secara defakto hampir sepenuhnya wilayah Muslim Sunni, termasuk Jazirah
Arab dan Mesir.
Untuk
zaman sekarang: siapakah gerangan yang bisa menjadi Khalifah sejagad
itu? Apakah masih ada sisa-sisa kerabat Rasulullah SAW dari suku
Quraisy?Apakah masih relevan mengandalkan keberanian, kekuatan militer dan politik ekspansi?Bangsa
Arab pasti berkelahi tiada habisnya soal klaim sebagai turunan
Quraisy. Sementara Islam telah tersebar pula ke Eropa, Amerika, Jepang,
India, Cina yang lebih kuat dari segi keilmuan, ekonomi dan militer. Jika
term “Quraisy” diartikan sebagai suku bangsa yang kuat maka mereka pun
semuanya berhak mengklaim posisi Khalifah. Belum lagi Indonesia sebagai
negara terbesar jumlah umat Islam di dunia, tentu jauh lebih berhak.
Alih-alih mempersoalkan hal yang sifatnya tidak relevan, absurd,
kontroversi dan utopis itu, lebih baik kita membiarkan masing-masing
bangsa menjadi “Khalifah”, membangun negara moderen yang demokratis di
negerinya sendiri. Untuk itulah, ulama dan tokoh Islam menerima negara
nasional Indonesia dibangun di atas landasan Pancasila.
0 komentar:
Posting Komentar